Saya
akan membicarakan suatu wilayah di daerah selatan (Namphang) dimana didaerah
ini terdapat kerajaan yang disebut Tolang Pahwong. Yang artinya To adalah Orang
dan Lang Pohwang adalah Lampung. Lampung ini merupakan kerajaan Sriwijaya yang
berpusat di Jambi dan menguasai sebagian wilayah Asia Tenggara dan Lampung Berjaya
hingga abad ke-11. Mengapa Sriwijaya dating ke Lampung? Karena daerah Lampung
ini dulunya merupakan sumber emas dan damar. Peninggalan yang menunjukkan bahwa
Lampung berada dibawah pengaruh Kerajaan Sriwijaya antara lain dengan
ditemukannya prasasti Palas Pasemah dan Prasasti Batu Bedil didaerah Tenggamus
merupakan peninggalan kerajaan Sriwijaya (abad VIII). Kerajaan-kerajaan Tulang
Bawang dan Skala Brak juga pernah berdiri pada sekitar abad VII-VIII. Pusat kerajaan
Tulang Bawang diperkirakan disekitar Menggala/Sungai Tulang Bawang sampai Pagar
Dewa. Zaman Islam ditandai masuknya Banten diLampung pada abad ke 16, terutama
pada saat bertahannya Sultan Hasanudin (1522-1570). Sejak masa dulu, Lampung
memang dikenal karena tanaman ladanya yang banyak dicari orang. Kesultanan Banten yang tertarik dengan
produksi lada Lampung menguasai daerah ini pada awal abad ke-16 dan sekaligus
memperkenalkan agama Islam. Pada zaman ini Lampung melahirkan pahlawan yang
terkenal gigih menatang Belanda, yang bernama Radin Intan. Pengaruh Islam
terlihat diantaranya dan adanya Tambra Prasasti (Buk Dalung) di daerah Bojong
Kecamatan Jabung Sekarang, berisi tentang perjanjian anatara Banten dan Lampung
dalam melawan penjajahan Belanda. Control yang dilakukan Kesultanan Banten atas
produksi lada Lampung telah menjadikan pelabuhan Banten sebagai Pelabuhan lada
yang paling besar dan paling makmur di Nusantara. Dengan adanya tanaman lada
ini membuat pendatang dari Eropa tertarik dengan usaha yang dimiliki. Perusahaan
dagang ini pada akhir abad ke-17 membangun sebuah pabrik pengolahan di
Menggala. Namun dengan berbagai upaya akhirnya Belanda berhasil menguasai
Lampung pada tahun 1856.Pemerintah kolonial Belanda untuk pertama kalinya memperkenalkan
program transmigrasi kepada penduduk di Pulau Jawa yang sangat padat untuk
pindah dan berusaha di Lampung. Program transmigrasi ini ternyata cukup
diterima baik dan banyak penduduk asal Pulau Jawa yang kemudian pindah ke
lokasi transmigrasi yang berada di kawasan timur Lampung. Program transmigrasi
ini kemudian ditingkatkan lagi pada masa kemerdekaan pada tahun 1960-an dan
1970- an. Orang asal Pulau Jawa ini membawa serta perangkat kebudayaan mereka
ke Lampung seperti gamelan dan wayang. Orang dari Pulau Bali kemudian juga
datang ke Lampung untuk mengikuti program transmigrasi ini. Kehadiran pendatang
dari daerah lain di Lampung telah menjadikan wilayah ini sebagai daerah dengan
kebudayaan yang beragam (multi-kultur). Keragaman suku yang ada justru menjadi
daya tarik wisata apalagi di berbagai kabupaten yang ada tersebar potensi
wisata alam, wisata budaya. Keberadaan sanggar-sanggar seni/budaya sebagai
pelestari seni/budaya warisan nenek moyang banyak berkembang.
Dalam
catatan sejarah yang ada hingga saat ini, Pulau Sumatera ini ditemukan Angkatan
Laut Kerajaan Rau (Rao) di India yang bernama Sri Nuruddin Arya Passatan tahun
10 Saka/88 Masehi yang tercantum dalam Surat Peninggalan pada Bilah Bambu tahun
50 Saka/128 M yang ditandatangani Ariya Saka Sepadi, bukan Sri Nuruddin
Angkatan Pertama yang datang dari kerajaan Rao di India. Karena tidak ada kabar
beritanya angkatan pertama, dikirim angkatan kedua yang dipimpin langsung Putra
Mahkota Kerajaan Rao di India Y.M. Sri Mapuli Dewa Atung Bungsu tahun 101
Saka/179 Masehi. Dengan 7 armada (kapal), mereka berlabuh di daratan Sumatera
tepatnya di Pulau Seguntang atau Bukit Seguntang sekarang di Palembang, Y.M. Sri
Mapuli Atung Bungsu memerintahkan Arya Tabing, nakhoda kepal penjalang untuk
mendirikan pondokan dan menera (menimbang) semua sungai yang berada di wilayah
Pulau Seguntang tersebut. Demi mengikuti amanat Ayahanda Kerajaan Rao di India,
berganti-ganti air sungai ditera (ditimbang) Arya Tabing atas titah Y.M. Sri
Mapuli Dewa Atung Bungsu, sebelum Arya Tabing menimbang semua air sungai,
beliau bertanya kepada YM, sungai mana yang harus ditera (ditimbang), dijawab
YM, semua Tera (yang maksudnya semua air sungai yang ada ditimbang). Dari
kata-kata beliau itulah asal nama Sumatera hingga saat ini yang tercatat dalam
surat lempengan emas tahun 10 Saka/88 Masehi serta surat dari bilah bambu pada
tahun 101 Saka/179 Masehi yang sampai saat ini belum ditemukan bangsa
Indonesia, dan berkemungkinan sekali bertuliskan/aksara kaganga atau
pallawa/hanacaraka di wilayah Sumetera bagian selatan. Setelah ditimbang
angkatan Arya Tabing, didapatlah air sungai/Ayik Besemah dari dataran tinggi
Bukitraja Mahendra Mahendra (Bukit Raje Bendare) mengalir ke barat dan bermuara
di Sungai Lematang wilayah Kota Pagar Alam (Lahat).
Adat pepadun sai batin terbentuk
pada abad ke-17 tahun 1648 M oleh empat kelompok/buay, yaitu Buay Unyai di
Sungai Abung, Buay Unyi di Gunungsugih, Buay Uban di Sungai Batanghari dan Buay
Ubin (Subing) di Sungai Terbanggi, Labuhan Maringgai. Adat pepadun sai batin
ini masih ada pengaruh dari Hindu dan Buddha Putri Bulan tidak dikenal keempat
peserta sidang (empat buay) yang merupakan utusan kelompok masing-masing
wilayah. Sangaji Mailahi menjawab akan membentuk adat. Keempat bersaudara dari
4 buay tersebut merasa sangat tertarik melihat Putri Bulan adik angkatnya
Sangaji Malihi, sehingga rapat/sidang ditunda sejenak karena terjadi keributan
di antara mereka. Untuk mengatasi keributan itu, Sangaji Malihi memutuskan
Putri Bulan dijadikan adik angkat dari mereka berempat. Setelah meninggalkan
daerah Goa Abung, mereka menyebarkan adat ke daerah pedalaman Lampung sekarang.
Buay Unyai pada puluhan tahun kemudian hanya mengetahui sidang adat pepadun sai
batin diadakan di daerah Buay Unyai dan sebagai Raja Adat, Raja Hukum, Raja
Basa (Bahasa) adalah Sangaji Malihi yang kemudian hari dijuluki masyarakat
sebagai Ratu Adil. Buay Bulan (Mega Pak Tulangbawang) pada permulaan abad ke-17
Putri Bulan bersuamikan Minak Sangaji dari Bugis yang julukannya diambil dari
kakak angkatanya sangaji Malihi (Ratu Adil). Empu Riyo adalah keturunan Buay
Bulan di Buay Aji Tulangbawang Tengah dan Makam Minak Sangaji dan Putri Bulan ada
di belakang Kecamatan Tulangbawang Tengah dan Makam Minak Sangaji dan Putri
Bulan di Buay Aji Tulangbawang Menggala (sekarang). Di antara keturunan Raja
Jungut/Kenali Pesagi keturunan Buay Bulan ada di Kayu Agung, keturunan Abung
Bunga Mayang dari Mokudum Mutor marga Abung Barat sekarang. Jadi adat pepadun
sai batin merupakan satu kesatuan (two in one) yang tidak terpisahkan satu sama
lainnya karena arti/makna dari pada kata atau kalimat pepadun sai batin adalah
pepadun = musyawarah/mufakat, dan sai batin = bersatu/bersama. Jadi kata
pepadun sai batin adalah musyawarah mufakat untuk bersama bersatu. Dan kemudian
hari sejarah adat pepadun sai batin terbagi menjadi 2 kelompok/jurai, yaitu
Lampung sai = pepadun dan aji sai = sai batin, yang kemudian kita kenal sebagai
lambang Sang Bumi Ruwa Jurai (pepadun sai batin). Fakta/bukti autentik piagam
logam tahun 1652 Saka/1115 H atau tahun 1703 M yang bertuliskan Arab gundul dan
aksara pallawa/hanacaraka msh ada sampai sekarang. Jadi adat pepadun sai batin
itu berarti musyawarah mufakat untuk bersatu/bersama dalam pembentukan adat. Pepaduan
sama dengan Musyawarah atau mufakat Sai Batin sama dengan Bersatu atau bersama
Lampung Sai sama dengan kita bersatu atau mereka bersatu Aji sai sama dengan
Saya satu atau ini satu Sang Bumi Ruwa Jurai sama dengan pepaduan saibatin
(satu kalimat) musyawarah untuk bersatu.