Dengan judul ini saya jadi teringat bukunya Mochtar Lubis
yang berjudul Manusia Indonesia,
beliau mengatakan bahwa bangsa ini memiliki jiwa hipokrit serta segan
dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya. Bisa jadi, hal inilah yang
menjadi akar permasalahan atas makin keropos dan hilangnya budaya malu
bangsa kita saat ini.
Sudah benar-benar hilangkah budaya malu bangsa kita, bangsa ini? Mungkin tidak terlalu sulit menjawab pertanyaan tersebut ketika kita mau melihat realita dan problematika yang terjadi di negeri kita sekarang ini. Dimana-mana, hampir dalam semua aspek kehidupan, sepertinya semakin banyak perilaku yang mengindikasikan bahwa budaya malu itu sudah semakin keropos (atau justru sudah hilang) dari diri masyarakat kita. Hampir semua pihak yang berada di sektor kehidupan Indonesia telah kehilangan identitasnya sebagai seorang yang memiliki budaya malu, baik malu pada diri sendiri, malu pada orang lain dan terutama malu pada Allah SWT. Yang pejabat tidak bisa menunjukkan diri sebagai orang yang pantas disebut sebagai ‘pejabat’, yang public figur tidak mampu memberikan teladan yang pantas sebagai orang yang bisa dijadikan sebagai ‘figur’, dll.
Padahal budaya malu merupakan perisai kita dari melakukan perbuatan yang ‘kurang pantas’. Jika manusia sudah tidak punya lagi rasa malu, maka manusia akan berbuat apa saja, bahkan melakukan perbuatan yang lebih rendah daripada binatang. Dan ironisnya justru inilah yang sekarang ini terjadi, di era yang sering disebut-sebut sebagai era globalisasi, mencari budaya malu itu seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Duh..
Kini banyak orang mengaku beragama, tapi tidak segan-segan lagi mengabaikan nilai agamanya. Tidak malu untuk mengambil yang bukan haknya, tidak malu untuk melakukan tindakan asusila. Sudah tidak terhitung lagi pelaku yang diselidik, disidik, tersangka, terdakwa, terpidana, yang masih sempat mengumbar senyuman saat menjalani proses peradilan seolah tidak terjadi kesalahan apa-apa. Kita mungkin hanya bisa mengelus dada karena mereka sama sekali tidak merasa malu atau setidaknya risih atas tindakannya.
Saya percaya, sebenarnya hanya segelintir saja orang yang berbuat ‘kurang pantas’ tersebut, masih lebih banyak dari kita yang menjunjung nilai moralitas. Namun (seperti kata Bapak Mario Teguh) sering kali yang sedikit itu merepotkan dan menggelisahkan yang banyak. Jadi, marilah kita putus saja rantai manusia tidak berbudaya malu yang masih tersebar di pertiwi ini. Sudah saatnya malu menjadi budaya yang harus senantiasa dijaga dan dipelihara, baik oleh individu, kelompok, terlebih oleh bangsa ini.
Orang yang malu, akan menjaga isi kepalanya supaya tidak berpikir untuk melakukan perbuatan negatif. Orang yang merancang perbuatan maksiat, berarti dia tidak malu kepada Allah, karena Allah Maha Mengetahui apa yang tampak dan yang tersembunyi. Begitu pula rasa malu dalam mengisi perut. Artinya, segala yang masuk ke dalam perut haruslah sesuatu yang halal, tidak boleh yang haram. Juga tidak boleh memakan sesuatu dari hasil yang haram, misalnya mencuri, korupsi, suap menyuap, ataupun merampas hak milik orang lain. Dengan budaya malu, seorang pejabat tidak akan mau melakukan perbuatan korupsi dan kolusi, seorang pedagang tentu tidak akan mengurangi takaran, seorang pelajar tidak akan berbuat curang dalam ujian, suami atau istri tidak akan melakukan perbuatan selingkuh, remaja akan menjauhi segala bentuk narkoba dan hubungan lain jenis di luar nikah.
Setiap kita harus berani menatap cermin dan bertanya pada bayangan yang ada disana, masihkah menghayati etika atau sudah luntur budaya malunya ?
Dengan budaya malu, kita tidak akan menjadi pribadi yang malu-maluin. Karena dengan budaya malu setiap orang akan menjaga dirinya dari perbuatan yang dilarang agama maupun norma susila. Pada gilirannya nanti, akan tercipta masyarakat yang religius dan berbudaya.
Sudah benar-benar hilangkah budaya malu bangsa kita, bangsa ini? Mungkin tidak terlalu sulit menjawab pertanyaan tersebut ketika kita mau melihat realita dan problematika yang terjadi di negeri kita sekarang ini. Dimana-mana, hampir dalam semua aspek kehidupan, sepertinya semakin banyak perilaku yang mengindikasikan bahwa budaya malu itu sudah semakin keropos (atau justru sudah hilang) dari diri masyarakat kita. Hampir semua pihak yang berada di sektor kehidupan Indonesia telah kehilangan identitasnya sebagai seorang yang memiliki budaya malu, baik malu pada diri sendiri, malu pada orang lain dan terutama malu pada Allah SWT. Yang pejabat tidak bisa menunjukkan diri sebagai orang yang pantas disebut sebagai ‘pejabat’, yang public figur tidak mampu memberikan teladan yang pantas sebagai orang yang bisa dijadikan sebagai ‘figur’, dll.
Padahal budaya malu merupakan perisai kita dari melakukan perbuatan yang ‘kurang pantas’. Jika manusia sudah tidak punya lagi rasa malu, maka manusia akan berbuat apa saja, bahkan melakukan perbuatan yang lebih rendah daripada binatang. Dan ironisnya justru inilah yang sekarang ini terjadi, di era yang sering disebut-sebut sebagai era globalisasi, mencari budaya malu itu seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Duh..
Kini banyak orang mengaku beragama, tapi tidak segan-segan lagi mengabaikan nilai agamanya. Tidak malu untuk mengambil yang bukan haknya, tidak malu untuk melakukan tindakan asusila. Sudah tidak terhitung lagi pelaku yang diselidik, disidik, tersangka, terdakwa, terpidana, yang masih sempat mengumbar senyuman saat menjalani proses peradilan seolah tidak terjadi kesalahan apa-apa. Kita mungkin hanya bisa mengelus dada karena mereka sama sekali tidak merasa malu atau setidaknya risih atas tindakannya.
Saya percaya, sebenarnya hanya segelintir saja orang yang berbuat ‘kurang pantas’ tersebut, masih lebih banyak dari kita yang menjunjung nilai moralitas. Namun (seperti kata Bapak Mario Teguh) sering kali yang sedikit itu merepotkan dan menggelisahkan yang banyak. Jadi, marilah kita putus saja rantai manusia tidak berbudaya malu yang masih tersebar di pertiwi ini. Sudah saatnya malu menjadi budaya yang harus senantiasa dijaga dan dipelihara, baik oleh individu, kelompok, terlebih oleh bangsa ini.
Orang yang malu, akan menjaga isi kepalanya supaya tidak berpikir untuk melakukan perbuatan negatif. Orang yang merancang perbuatan maksiat, berarti dia tidak malu kepada Allah, karena Allah Maha Mengetahui apa yang tampak dan yang tersembunyi. Begitu pula rasa malu dalam mengisi perut. Artinya, segala yang masuk ke dalam perut haruslah sesuatu yang halal, tidak boleh yang haram. Juga tidak boleh memakan sesuatu dari hasil yang haram, misalnya mencuri, korupsi, suap menyuap, ataupun merampas hak milik orang lain. Dengan budaya malu, seorang pejabat tidak akan mau melakukan perbuatan korupsi dan kolusi, seorang pedagang tentu tidak akan mengurangi takaran, seorang pelajar tidak akan berbuat curang dalam ujian, suami atau istri tidak akan melakukan perbuatan selingkuh, remaja akan menjauhi segala bentuk narkoba dan hubungan lain jenis di luar nikah.
Setiap kita harus berani menatap cermin dan bertanya pada bayangan yang ada disana, masihkah menghayati etika atau sudah luntur budaya malunya ?
Dengan budaya malu, kita tidak akan menjadi pribadi yang malu-maluin. Karena dengan budaya malu setiap orang akan menjaga dirinya dari perbuatan yang dilarang agama maupun norma susila. Pada gilirannya nanti, akan tercipta masyarakat yang religius dan berbudaya.
“Hiduplah sesukamu tapi engkau pasti mati, berbuatlah sesukamu tapi pasti engkau akan dibalas (sesuai perbuatanmu itu) [Nasihat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW – Sahl bin Said]”.
0 komentar:
Posting Komentar