Dini hari yang dingin menghantarkan
saya berkutat dengan tema "Menyoal Moralitas dan Budaya". Hal pertama
yang mengganggu di benak saya adalah kata "Menyoal". Tetapi, karena
sudah sepakat dengan penggagas ide (Trimatra) maka sayapun sepakat dengan
beliau. Tidak pada persoalan batas antara moralitas dan budaya timur dan barat,
tapi lebih kepada bagaimana kita melihat masalah ini sebagai sesuatu yang
membumi secara universal (ketika kita berinteraksi di dunia fana ini) tanpa
kita harus kehilangan jati diri kita.
Ya, bagi saya pribadi hakekatnya barat dan timur itu intinya sama saja. Sama-sama bertujuan akhir mensejahterakan umat manusia. Bila moralitas dan budaya barat lebih menekankan pada kebebasan berpikir dan bertindak secara bertanggung jawab, maka moralitas dan budaya timur pada kesantunan ketimurannya. Dan jati diri budaya kita tidak sekedar pada hal-hal yang sifatnya artificial, sekedar memakai batik, bangga pada wayang, songket, dan sebagainya.
Kembali ke ide bagaimana kita melihat masalah ini sebagai sesuatu yang membumi secara universal tanpa kita harus kehilangan jati diri kita. Saya kira ini soal mengawinkan ide dan soul Barat dan timur tersebut. Secara pribadi saya bangga dengan budaya Sumatera Selatan yang saya miliki. Bagaimana saya dibesarkan dengan legenda Si Mata Empat dan si Pahit Lidah. Anak perempuan harus hormat dan segan kepada saudara laki-lakinya. Saudara laki-laki harus menyayangi dan menjaga saudara perempuannya. Perempuan harus tegar (ini adat budaya komering ala orang tua saya). Kalau datang ke pesta sesekali menggunakan songket Palembang. Tiap hari Jum'at saya memakai batik, kadang batik khas Palembang. Di luar itu jiwa saya suka melesat mengembara dengan kebebasan berpikir dan bertindak secara bertanggung jawab milik barat yang sebut di atas, tanpa saya harus mengamalkan ide "freesex", atau prinsip hedonis mereka yang berlebihan. Cara ini tentu saja masih saya akan pilah-pilah mana yang baik untuk saya teruskan kepada anak cucu saya.
Menyikapi moralitas bangsa kita yang akhir-akhir ini, he, memang membuat miris. Sebagian besar masyarakat kita telah kebarat-baratan secara salah kaprah. Lihatlah kasus video porno mirip artis yang sekarang merebak. Mencengangkan dan membuat bergidik. Kalaulah hal tersebut disebabkan mereka mengamalkan budaya "freesex" barat, itu karena pengamalannya setengah-setengah. Hanya mau melakukan kebebasan berpikir dan bertindak tapi tidak dilakukan secara bertanggung jawab. Melakukan freesex, tapi masih malu untuk mengakui. Tidak siap dengan resiko yang akan dihadapi. Ini juga akibat budaya"malu" timur kita yang diteggakkan tidak pada tempatnya. Berani berbuat tapi malu mengakui.
Tapi.....ya seperti kita ketahui bersama urusan moral adalah urusan pribadi masing-masing kita. Faktanya, mau tidak mau kita semua (masyarakat, pemerintah, lembaga/institusi swasta), harus juga memikirkan hal ini. Bagaimana membekali anak-anak kita dengan bekal moral yang cukup dan kepribadian yang kuat. Hal yang bisa dilakukan lewat kurikulum sekolah, dan bagaimana masyarakat sendiri (hal terkecilnya adalah keluarga) membekali anak-anaknya dengan bimbingan moral agama dan kearifan lokal milik kita. Hal disebut Astri Ivo sebagai Imunisasi Jiwa. Kita bisa kalau kita mau.
Saya tercenung kawan. Pikiran saya tiba-tiba lekat pada sang ilalang. Lihatlah ilalang. Ilalang ada di timur dan barat. Sebagaimana angin akan membawa bunganya melintasi timur dan barat tanpa ia kehilangan akar tempatnya tumbuh. Ia tetap kokoh berada di tempatnya. Tumbuh dengan bersahaja. Ia tegar meski angin selalu bertiup menggoyangnya. Begitulah seharusnya kita mempertahankan jati diri kita.
Ya, bagi saya pribadi hakekatnya barat dan timur itu intinya sama saja. Sama-sama bertujuan akhir mensejahterakan umat manusia. Bila moralitas dan budaya barat lebih menekankan pada kebebasan berpikir dan bertindak secara bertanggung jawab, maka moralitas dan budaya timur pada kesantunan ketimurannya. Dan jati diri budaya kita tidak sekedar pada hal-hal yang sifatnya artificial, sekedar memakai batik, bangga pada wayang, songket, dan sebagainya.
Kembali ke ide bagaimana kita melihat masalah ini sebagai sesuatu yang membumi secara universal tanpa kita harus kehilangan jati diri kita. Saya kira ini soal mengawinkan ide dan soul Barat dan timur tersebut. Secara pribadi saya bangga dengan budaya Sumatera Selatan yang saya miliki. Bagaimana saya dibesarkan dengan legenda Si Mata Empat dan si Pahit Lidah. Anak perempuan harus hormat dan segan kepada saudara laki-lakinya. Saudara laki-laki harus menyayangi dan menjaga saudara perempuannya. Perempuan harus tegar (ini adat budaya komering ala orang tua saya). Kalau datang ke pesta sesekali menggunakan songket Palembang. Tiap hari Jum'at saya memakai batik, kadang batik khas Palembang. Di luar itu jiwa saya suka melesat mengembara dengan kebebasan berpikir dan bertindak secara bertanggung jawab milik barat yang sebut di atas, tanpa saya harus mengamalkan ide "freesex", atau prinsip hedonis mereka yang berlebihan. Cara ini tentu saja masih saya akan pilah-pilah mana yang baik untuk saya teruskan kepada anak cucu saya.
Menyikapi moralitas bangsa kita yang akhir-akhir ini, he, memang membuat miris. Sebagian besar masyarakat kita telah kebarat-baratan secara salah kaprah. Lihatlah kasus video porno mirip artis yang sekarang merebak. Mencengangkan dan membuat bergidik. Kalaulah hal tersebut disebabkan mereka mengamalkan budaya "freesex" barat, itu karena pengamalannya setengah-setengah. Hanya mau melakukan kebebasan berpikir dan bertindak tapi tidak dilakukan secara bertanggung jawab. Melakukan freesex, tapi masih malu untuk mengakui. Tidak siap dengan resiko yang akan dihadapi. Ini juga akibat budaya"malu" timur kita yang diteggakkan tidak pada tempatnya. Berani berbuat tapi malu mengakui.
Tapi.....ya seperti kita ketahui bersama urusan moral adalah urusan pribadi masing-masing kita. Faktanya, mau tidak mau kita semua (masyarakat, pemerintah, lembaga/institusi swasta), harus juga memikirkan hal ini. Bagaimana membekali anak-anak kita dengan bekal moral yang cukup dan kepribadian yang kuat. Hal yang bisa dilakukan lewat kurikulum sekolah, dan bagaimana masyarakat sendiri (hal terkecilnya adalah keluarga) membekali anak-anaknya dengan bimbingan moral agama dan kearifan lokal milik kita. Hal disebut Astri Ivo sebagai Imunisasi Jiwa. Kita bisa kalau kita mau.
Saya tercenung kawan. Pikiran saya tiba-tiba lekat pada sang ilalang. Lihatlah ilalang. Ilalang ada di timur dan barat. Sebagaimana angin akan membawa bunganya melintasi timur dan barat tanpa ia kehilangan akar tempatnya tumbuh. Ia tetap kokoh berada di tempatnya. Tumbuh dengan bersahaja. Ia tegar meski angin selalu bertiup menggoyangnya. Begitulah seharusnya kita mempertahankan jati diri kita.
0 komentar:
Posting Komentar